Sabtu, 30 Maret 2019
PERMASALAHAN ASPEK HUKUM PEMBANGUNAN(BAG. 2)
Pendahuluan
Konstruksi merupakan suatu kegiatan membangun sarana maupunprasarana. Sebuah konstruksi juga dikenal sebagai bangunan atau satuan infrastruktur pada sebuah area atau pada beberapa area. Secara ringkas konstruksi didefinisikan sebagai objek keseluruhan bangunan yang terdiri dari bagian-bagian struktur.
Konstruksi dapat juga didefinisikan sebagai susunan (model, tata letak) suatu bangunan (jembatan, rumah, dan lain sebagainya) Walaupun kegiatan konstruksi dikenal sebagai satu pekerjaan, tetapi dalam kenyataannya konstruksi merupakan satuan kegiatan yang terdiri dari beberapa pekerjaan lain yang berbeda.Pada umumnya kegiatan konstruksi diawasi oleh manajer proyek, insinyur disain, atau arsitek proyek. Orang-orang ini bekerja di dalam kantor, sedangkan pengawasan lapangan biasanya diserahkan kepada mandor proyek yang mengawasi buruh bangunan, tukang kayu, dan ahli bangunan lainnya untuk menyelesaikan fisik sebuah konstruksi.
Permasalahan
Dalam proses perjalanannya, sebuah kegiatan konstruksi dihadapkan pada berbagai permasalahan dan seringkali tidak luput dari permasalahan tersebut. Banyak faktor yang menyebabkan permasalahan itu terjadi dan ada berbagai macam jenis permasalahan yang biasa terjadi dalam suatu proses konstruksi. Dalam pembahasan ini, saya akan membahas tentang permasalahan dalam dunia konstruksi tersebut.
Tingkat keberhasilan ataupun kegagalan suatu proyek akan banyak ditentukan oleh pihak-pihak yang terkait secara tidak langsung (Dalam hal ini bisa pemilik proyek, badan swasta, dan pemerintah) maupun secara langsung yang dalam hal ini, yaitu Penyedia barang dan jasa (Kontraktor Pelaksana, Konsultan perencana, Konsultan pengawas) dalam suatu siklus/ tahapan manajemen meliputi Perencanaan ( Planning) , Pengorganisasian ( Organizing ), Pengisian staff (Staffing), pengarahan ( Directing ), pelaksanaan, pengendalian ( controling) , dan pengawasan ( supervising ).
Beberapa permasalahan dalam proses konstruksi, berkaitan dengan beberapa aspek:
Keterkaitan antara waktu, biaya, dan mutu dalam sebuah proyek
Sebagaimana diketahui bahwa dalam pelaksanaan manajemen konstruksi didasari dari proses proyek itu sendiri, yang mempunyai awal dan akhir serta tujuan menyelesaikan proyek tersebut alam bentuk bangunan fisik secara efisien dan efektif. Untuk itu, diperlukan pengetahuan yang salah satunya menyangkut aspek teknik pelaksanaan manajemen konstruksi itu sendiri dalam penyelenggaraannya. Beberapa ruang lingkup pekerjaan yang menjadi aspek teknik dapat dilihat dibawah ini :
Gambar 8.1 : Struktur pendekatan untuk manajemen proyek dengan variabel ruang llingkup kegiatan yang merupakan aspek tekniknya.
(Sumber : Turney J. Rodney : “The Handbook of Project Based Management”, McGraw-Hill Book Company, Berkshire, Maidenhead, England, 1991)
Dari gambaran sistematika di atas, dapat disebutkan bahwa proses proyek konstruksi dimulai dengan perencanaan dan diakhiri dengan serah terima. Selama proses berlangsung, beberapa aspek teknik yang berkaitan dengan proses, perlu diketahui. Aspek teknik yang umum dilakukan terdistribusi dalam :
– Perencanaan (planning)
– Penjadwalan (scheduling)
– Pengendalian (controling)
Hal ini untuk mencapai tujuan proyek yaitu menghasilkan bangunan fisik yang mempunyai variabel biaya-mutu-waktu yang optimal. Sebagaimana diketahui secara tradisional bahwa ketiga variabel tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi, yang umumnya dikenal sebagai Biaya – Mutu – Waktu.
Gambar 8.2 : Segitiga variabel biaya – mutu – waktu yang saling mempengaruhi, variabel utama dalam aspek teknik manajemen konstruksi
(Sumber : Turney J. Rodney : “The Handbook of Project Based Management”, McGraw-Hill Book Company, Berkshire, Maidenhead, England, 1991)
Ketiga variabel tersebut berkaitan dan saling mempengaruhi. Sebagai misal MUTU : kualitas mutu berkaitan dengan BIAYA yang dikeluarkan, besar kecilnya biaya secara umum menunjukkan tinggi rendahnya mutu untuk suatu pekerjaan yang sama dengan spesifikasi yang sama pula. Demikian pula dengan WAKTU pelaksanaan, tinggi rendahnya MUTU secara tidak langsung berkaitan dengan lama waktu pelaksanaan, mutu yang tinggi membutuhkan kehati-hatian dan pengawasan mutu yang lebih intensif, sehingga jelas akan memakan waktu yang lebih daripada waktu yang normal. Dari WAKTU yang lebih lama ini otomatis, paling tidak dari segi biaya tidak langsung, akan kembali menambah BIAYA pelaksanaan. Bentuk saling ketergantungan ini memberikan beberapa kebutuhan akan teknik untuk menajemen proses konstruksi seperti tersebut di atas. Atas dasar tersebut, pada modul ini akan dibahas beberapa teori / teknik dalam lingkup pelaksanaan manajemen proyek konstruksi, yang meliputi :
1. Tahap Perencanaan
Penyusunan Work Breakdown Structure (WBS)
Penyusunan Organization Analysis Table (OAT)
Memperkirakan durasi dari WBS, OAT, Analisa Harga Satuan dan Ketersediaan Sumber Daya Manusia.
2. Tahap Penjadwalan
Diagram Jaringan 1 (Activity on Arrow)
Diagram Jaringan 2 (Pengantar Activity on Node)
Metode Lintasan Kritis (CPM)
Aliran Kas (Cash Flow)
3. Tahap Pengendalian
Monitoring 1 : Kurva – S
Monitoring 2 : Integrasi Biaya – Waktu (Earned Value)
Percepatan Waktu dengan Biaya Optimal (Least Cost Analysis).
Koordinasi dan Pengaturan Manajemen
Manajemen proyek dapat didefinisikan sebagai suatu proses dari perencanaan, pengaturan, kepemimpinan, dan pengendalian dari suatu proyek oleh para anggotanya dengan memanfaatkan sumber daya seoptimal mungkin untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Tujuan/sasaran Manajemen Proyek adalah mengelola fungsi manajemen atau mengatur pelaksanaan pembangunan sedemikian rupa sehingga diperoleh hasil optimal sesuai dengan persyaratan (spesification) untk keperluan pencapaian tujuan ini, perlu diperhatikan pula mengenai mutu bangunan, biaya yang digunakan dan waktu pelaksanaan Dalam rangka pencapaian hasil ini selalu diusahakan pelaksanaan pengawasan mutu ( Quality Control ) , pengawasan biaya ( Cost Control ) dan pengawasan waktu pelaksanaan ( Time Control ). Pengelolaan aspek-aspek tersebut dengan benar merupakan kunci keberhasilan dalam penyelenggaraan suatu proyek.
Dengan adanya manajemen proyek maka akan terlihat batasan mengenai tugas, wewenang, dan tanggung jawab dari pihak-pihak yang terlibat dalam proyek baik langsung maupun tidak langsung, sehingga tidak akan terjadi adanya tugas dan tangung jawab yang dilakukan secara bersamaan (overlapping).
Apabila fungsi-fungsi manajemen proyek dapat direalisasikan dengan jelas dan terstruktur, maka tujuan akhir dari sebuah proyek akan mudah terwujud, yaitu:
1. Tepat Waktu
2. Tepat Kuantitas
3. Tepat Kualitas
4. Tepat Biaya sesuai dengan biaya rencana
5. Tidak adanya gejolak sosial dengan masyarakat sekitar
6. Tercapainya K3 dengan baik
Pelaksanaan proyek memerlukan koordinasi dan kerjasama antar organisasi secara solid dan terstruktur. Dan hal inilah yang menjadi kunci pokok agar tujuan akhir proyek dapat selesai sesuai dengan schedule yang telah direncanakan.
Beberapa unsur organisasi yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. Adapun pihak-pihak tersebut antara lain:
1. Pemilik proyek (owner)/investor yang juga merupakan konsultan manajemen konstruksi
2. Konsultan perencana arsitektur, landscape, dan quantity surveyor.
3. Kontraktor pelaksana utama yang membawahi:
Konsultan perencana struktur
Sub kontraktor spesialis
4. Kontraktor pondasi
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, ke-4 pihak tersebut harus mempunyai hubungan kerja yang jelas, dan dapat bersifat ikatan kontrak, perintah, maupun garis koordinasi. Hubungan antara pihak tersebut dapat dilihat dalam skema pada gambar 1.1 dibawah ini.
Gambar 1.1 Skema Hubungan Kerja Pihak-Pihak Yang Terkait dalam Proyek
Berikut ini adalah beberapa contoh hal atau faktor yang dapat menjadi penghambat dalam penyelesaian proses konstruksi, antara lain :
Bahan
Tenaga Kerja (SDM)
Peralatan
Lingkungan
Keuangan
Faktor Perubahan (Ekonomi maupun Sosial)
Contoh kegagalan proyek konstruksi akibat salah satu faktor diatas :
Robohnya Jembatan Penghubung Gedung Perpustakan Daerah DKI (November 2014) – Disebabkan faktor peralatan & faktor tenaga kerja (SDM)
Bangunan jembatan penghubung ini menghubungkan gedung Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DKI Jakarta. Keruntuhan terjadi pada tanggal 3 November 2014.
Jembatan Penghubung runtuh
Keruntuhan terjadi diakibatkan sistem perancah yang mengalami kegagalan. Scafolding yang digunakan merupakan scafolding besi dengan kondisi yang sudah tidak layak pakai:
Kondisi scafolding banyak yang sudah keropos dan ada beberapa yang sudah bolong.
Pemasangan scafolding tidak dilengkapi dengan bracing, sehingga scafolding tidak stabil.
Adanya perlemahan scafolding yang tidak dihitung seperti adanya jalan akses untuk kendaraan dibawah struktur yang sedang dibangun.
Scafolding bengkok
Demikian contoh beberapa kasus kegagalan struktur yang pernah terjadi di Indonesia. Sebenarnya masih ada beberapa contoh kasus lain akan tetapi belum sempat dibahas pada kesempatan kali ini. Penulis berharap deretan kasus yang terjadi dapat menjadi bahan pembelajaran bagi para engineer untuk dapat lebih cermat baik pada saat desain maupun saat pengawasan pekerjaan di lapangan. Sehingga deretan kasus kegagalan struktur diatas tidak bertambah panjang.
Runtuhnya Jembatan Mahakam II, Tenggarong (November 2011) – Disebabkan faktor bahan & faktor tenaga kerja (SDM)
Jembatan yang merupakan tipe Gantung (Suspension Bridge) ini memiliki panjang total 710 m. Keruntuhan terjadi pada tanggal 26 November 2011 sekitar sepuluh tahun setelah diresmikan.
Jembatan Tenggarong Runtuh
Identifikasi penyebab keruntuhan ini merupakan hasil investigasi yang dilakukan oleh tim LPPM UGM pada tanggal 27 November 2011 (sehari setelah kejadian).
Berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan menunjukkan bahwa jatuhnya truss jembatan beserta hangernya terjadi akibat kegagalan konstruksi pada alat sambung kabel penggantung vertikal (clamps and sadle) yang menghubungkan dengan kabel utama.
Clamps and Sadle
Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan alat sambung ini mengalami kegagalan diantaranya:
Kurang baiknya perawatan jembatan yang menyebabkan konstruksi alat penggantung kabel vertikal tidak berfungsi dengan baik dan tidak terdeteksi kemungkinan adanya kerusakan dini.
Kelelahan (fatigue) pada bahan konstruksi alat penggantung kabel vertikal akibat kesalahan desain dalam pemilihan bahan atau sering terjadi kelebihan beban rencana (over load) yang mempercepat proses terjadinya degradasi kekuatan.
Kualitas bahan konstruksi alat sambung kabel penggantung ke kabel utama yang tidak sesuai dengan spesifikasi dan standar perencanaan yang ditetapkan.
Kesalahan prosedur dalam pelaksanaan perawatan konstruksi atau kesalahan dalam menyusun standar operasional dan perawatan konstruksi yang direncanakan.
Kemungkinan terjadinya penyimpangan kaidah teknik sipil dalam perencanaan karena seharusnya konstruksi alat penyambung harusnya lebih kuat daripada kabel penggantung yang disambungkan dalam kabel utama.
Kesalahan desain dalam menentukan jenis bahan/ material untuk alat penyambung kabel penggantung vertikal yang dibuat dari besi tuang/ cor (cas iron) atau kesalahan dalam menentukan jenis atau kapasitas kekuatan alat tersebut.
sumber:
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjosPnCkM_KAhVHbY4KHekpB_QQFggiMAE&url=http%3A%2F%2Fkk.mercubuana.ac.id%2Felearning%2Ffiles_modul%2F11047-1-972756198325.doc&usg=AFQjCNGu4nCv2hYNbluucyz5qJtrhuZvdg&sig2=0FTBx2UQZlMilN2XAQZW6w&bvm=bv.113034660,d.c2E
http://www.ilmusipil.com/manajemen-proyek
http://indraadnan92.blogspot.co.id/2011/08/aspek-hukum-dalam-konstruksi.html
http://jiwapamungkas.blogspot.co.id/2015/01/kasus-kegagalan-konstruksi-di-indonesia.html
http://masalahkonstruksi.blogspot.co.id/2014/05/masalh-konstruksi.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar